Duka yang Membawa Cahaya



By: Zakiyah Darojah


Menikah bagi saya dulu, adalah sebuah tantangan tersendiri. Di saat teman-teman begitu mudahnya menemukan jodohnya, tidak demikian dengan saya. Harapan saya bisa menikah segera setelah lulus kuliah, ternyata tidak terwujud. Saya musti menunggu 7 tahun untuk akhirnya bertemu belahan jiwa saya.

Dan perjalanan harapan saya ternyata tidak berhenti di situ. Sebagai seorang wanita, harapan saya setelah menikah tentunya memiliki buah hati, sebagai hasil dari jalinan cinta saya dan suami. Ternyata, yang saya alami juga tidak semudah pasangan suami-istri lainnya. Hati saya kembali diuji.

Bertahun-tahun menanti dengan dipenuhi drama dan air mata, bukanlah hal yang mudah bagi saya. Belum memiliki anak menjadi pemicu terbesar kegagalan komunikasi saya dengan suami di tahun-tahun awal pernikahan kami. Kami dua orang yang saling mencintai, tetapi kami juga dua orang yang saling menyakiti.

Tekanan dari keluarga dekat, tentang mengapa kami belum juga memiliki anak? Semakin membuat saya terluka. Kemana lagi saya melampiaskan kekesalan saya itu, selain pada suami saya sendiri? ketegangan dalam rumah tangga kami pun semakin hari semakin menjadi.

Saya sudah berupaya segala macam pengobatan, baik medis maupun non medis, namun Allah ternyata memberikan jawaban lain, yang tidak sesuai harapan saya. Seringkali saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya harus ikhlas dan khusnudzon pada rencana Allah swt, namun setiap kali datang bulan, saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri bahwa saya masih saja sedih dan terluka. Meski saya tidak putus harapan, dan masih teurs berharap pada bulan-bulan berikutnya. Dan fakta memberikan jawaban yang sama setelah berpuluh-puluh purnama.

Apakah saya berputus asa? Alhamdulillah Allah memberikan kekuatan pada saya. Tanpa kekuatan dari-Nya, mungkin saya sudah terpuruk dalam jurang kesedihan yang sangat dalam.

Dengan adanya tantangan hidup ini, saya belajar banyak hal. Mulai dari meditasi, self healing, vibrasi, tasawuf, dan lain sebagainya. Lambat laun saya belajar untuk menerima, memaafkan, bersyukur, dan ridho atas jalan hidup saya. Semakin saya menerima atas diri saya, hubungan saya dengan suami semakin membaik, komunikasi semakin lancar, saya merasa semakin dicintai dan rumah tangga kami alhamdulillah semakin harmonis. Saya pun merasa menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Entah mengapa, suara-suara sumbang dari orang di luaran sana yang mempertanyakan, yang turut prihatin, yang nyindir, yang menghakimi kondisi saya dan suami yang belum juga diberikan keturunan, yang dulu teramat sangat menyakitkan bagi saya, sekarang terasa biasa saja. Saya merasa hubungan saya dengan suami yang sudah menjadi jauh lebih baik sekarang ini saja, sudah sagat membuat saya bersyukur.

Saya tidak membayangkan, jika dulu awal menikah langsung Allah berikan anak kepada saya, entah bagaimana nasib anak saya. Saya yang masih sangat emosional, suami saya yang masih teramat sangat cuek, bisa jadi anak kami menjadi pelampiasan kemarahan kami.  Bukankah banyak pasangan suami-istri yang memiliki anak-anak di luar sana tidak bahagia? yah, begitulah. Jadi, setelah 10 tahun perjalanan pernikahan saya ini, saya menyadari bahwa inilah yang terbaik untuk saya sendiri. Tidak sia-sia 10 tahun penantian saya terhadap buah hati. Karena Allah gantikan waktu itu, untuk saya lebih banyak berbenah diri.

Dibalik duka yang pernah saya rasakan, ada secercah cahaya yang Allah sisipkan. Saat ini, saya hanya mampu bersyukur kepada-Nya, atas sekenarionya yang indah ini. Semoga jika esok Allah titipkan kepada saya dan suami saya seorang anak, kami sudah siap menjadi orangtua yang baik, insyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar