Menemukan Diri yang Sejati
Oleh: Veya
Editor: Rina Sumaryati
Pertanyaan tentang esensi diri sejati mirip-mirip juga dengan esensi cinta, dan esensi Tuhan. Ada tapi tak terlihat wujud nyatanya. Dee Lestari dalam kumpulan cerita pendek di buku Madre, menyiratkan keingintahuan seseorang tentang Tuhan, tentang cinta seperti halnya orang yang mencoba mengupas bawang. Terlalu banyak lapisan, lagi dan lagi, sampai mata kita perih karena ingin mencari inti.
Saat aku mencoba berdiskusi dengan GPT, aku mengetik di kolom percakapan “Menurutmu, apa itu jati diri yang sebenarnya?”
Setelah loading sebentar, aplikasi serba tahu macam cermin ajaibnya ratu jahat di film Snow White itupun mendeskripsikan bahwa “Jati diri yang sebenarnya adalah inti keberadaan kita, bukan sekedar nama, jabatan, status sosial, atau peran yang kita mainkan dalam hidup. Ia adalah kesadaran akan diri kita dibalik semua label, luka dan tuntutan dunia.” Masyaallah .... pintar sekali jawabannya.
Dibalik hiruk pikuknya dunia, dibalik peran yang harus dimainkan dan topeng yang dikenakan manusia, diri sejati seperti harta karun yang dicari semua orang. Tetapi tidak semua orang bisa menemukannya. Padahal diri sejati tidak sedang sembunyi dimanapun. Ia hanya sedang bersemayam dalam diri sendiri dan sedang menunggu untuk ditemukan. Anehnya, banyak manusia yang mencarinya keluar diri. Melalui pengakuan, cinta, pencapaian, dan sebagainya. Padahal jati diri tidak pernah pergi, ia hanya menunggu untuk dikenali.
Lalu bagaimana cara menemukannya?
Kita tidak perlu mencari sesuatu yang tidak pernah hilang. Kita hanya terlalu sibuk mengejar suara yang ada diluar kita, sampai lupa mendengar bisikan hati sendiri. Mari sejenak meluangkan waktu untuk bisa mengenali diri sejati. Bisa dengan menulis jurnal, meditasi, atau dengan hadir dalam kekinian. Present atau hadir dalam kekinian, disebut present karena ia juga merupakan persembahan yang harus kita nikmati di detik ini. Karena hanya dengan hadir disaat ini kita bisa menikmati moment yang menyenangkan bersama diri yang sejati. Di saat hadir seperti inilah suara jati diri akan hadir seperti gema dari dalam gua.
Selain terlalu sibuk pada aktivitas dunia, bisa jadi, kita merasa kehilangan jati diri karena terlalu lama menanggung beban, terlalu dalam menyimpan luka, dan terlalu pedih oleh trauma. Perasaan merasa tidak pantas dan tidak berharga yang datang dari luka menggerogoti rasa percaya diri dan membuat nilai diri menurun. Jika kamu sering merasa seperti itu, maka inilah saatnya untuk berani menyelami luka dan menyembuhkan batinmu sendiri. Dengan begitu kamu akan tahu keutuhan dirimu. Meskipun ingin menyerah, selalu ada bagian dari dirimu yang mencoba kuat dan bertahan. Jati diri sering bersembunyi di balik pintu yang paling enggan kita buka. Pintu itu bernama luka lama dan trauma.
Berikutnya, yang bisa kamu lakukan untuk menemukan jati diri adalah dengan olah spiritual atau perjalanan eksistensial. Bagi orang yang sudah tercukupi semua kebutuhan dan keinginan hidupnya, tapi masih terasa kosong di dalam, jati diri sering ditemukan disini. Lewat agama, lewat pertanyaan eksistensial tentang tujuan hidup, atau lewat hubungan mendalam dengan alam, dengan sesama manusia dan dengan semesta.
Menemukan jati diri bukanlah perjalanan keluar. Tetapi persis seperti proses kita mengupas bawang. Kita harus menyingkap lapisan demi lapisan yang menutupi jiwa meskipun mata dan hidung kita bisa pedih dibuatnya. Sampai akhirnya kamu akan menemukan, di balik semua lapisan-lapisan itu hanya ada kekosongan. Kekosongan yang menjadi inti dirimu. Ya, inilah dirimu yang mungkin rapuh, tetapi nyata. Kamu yang tidak sempurna, tetapi utuh dengan segala kelemahan dan kekurangannya.
So, Selamat berjuang mengupas bawang, selamat bertemu kembali dengan dirimu yang sejati. 😊