"RAPI ITU TERAPI: DECLUTTERING SEBAGAI SELF-CARE SEHARI-HARI"
Notulen : Saryani

   Dalam kesempatan kali ini Komunitas Permata Hati mengundang Khoirun Nikmah, S.T., C.ED., CFH.PSY. (Penulis dan Co-Founder Gemar Rapi) Dalam acara TeWePe ( Talk With Permata Hati), dalam Live Zoom yang dilaksanakan pada Minggu, 27 Juli pukul 19.30 WIB s.d selesai.  Beliau menjelaskan tentang Declutering.

Decluttering adalah proses menghilangkan atau mengurangi barang-barang yang tidak diperlukan, tidak digunakan, atau tidak memiliki nilai sentimental dalam suatu ruang atau lingkungan. Tujuan dari decluttering adalah untuk menciptakan ruang yang lebih rapi, teratur, dan bebas dari kekacauan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi stres, dan meningkatkan kualitas hidup.
Decluttering dapat dilakukan pada berbagai aspek kehidupan, seperti:

  1. Rumah: Menghilangkan barang-barang yang tidak diperlukan di rumah, seperti pakaian yang tidak dipakai, buku yang tidak dibaca, atau perabotan yang tidak digunakan.
  2. Kantor: Menghilangkan dokumen-dokumen yang tidak diperlukan, membersihkan meja kerja, dan mengatur peralatan kantor.
  3. Digital: Menghilangkan file-file yang tidak diperlukan di komputer atau ponsel, serta menghapus aplikasi yang tidak digunakan.
Karena keterbatasan waktu, masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab.
Maka pertanyaan beserta jawaban dari narasumber yang belum terjawab tersebut kami rangkum sebagai berikut :

 1. Pertanyaan dari mba Izza
Dari pengalaman mb Nikmah, bagaimana cara mengajak anak terlibat berbenah di rumah, termasuk decluttering mainan anak-anak? 
Dan jika anak-anak butuh perhatian kita dan mereka jadi prioritas, lantas "menomorduakan" decluttering, padahal si ibu cukup perfectionis, akhirnya yg terjadi rumah masih berantakan dan kewarasan menurun, membersamai anak juga akhirnya kurang lahir batin. Nah, bagaimana sebaiknya menyikapi keadaan seperti ini mb?

Jawaban :

Mengajak anak untuk bisa memiliki kebiasaan decluttering, yang perlu kita perhatikan adalah memahami tahapan usia perkembangan anak.

Di 7/8 tahun pertama atau early life, early childhood yaitu physical materi, tubuh fisiknya dulu. Segala perkembangan yang ada di tubuh fisiknya dulu yg paling penting.

Baru kemudian di usia 7/8 berikutnya (sekitar usia 7-14/8-16), tubuh emosinya. Kemudian di 7/8 setelahnya (14-21 dan 16-24), tubuh intelektualitasnya.

Apa yg terjadi di tahun pertama tubuh fisiknya? Yaitu Willingness. Willing atau kemauan anak-anak di usia ini lagi sangat besar energinya. Makanya bisa kita lihat anak kecil itu willnya gak gampang nyerah. Pas belajar merangkak ke berdiri, berdiri ke berjalan walau jatuh berkali-kali mereka nggak nyerah gitu aja. Willing ini terjadi di level mental. Kita semua pernah ada disini. Willingness kaitannya dengan kebutuhan fisik (makanan, minuman dan kemauan). Kalau physical bodynya sehat, mentalnya sehat. Dan kalau willnya diizinkan sehat, physical bodynya juga ikut sehat. 

Will ini udah ada cetakannya, default gitu. Tiap anak terlahir dg Will yang kuat, kita gabisa sbg ortu nambahin willnya. Tp ortu bisa menghambat/mengurangi Will anak. Anak yg willnya di masa ini tidak tuntas, biasanya pas udah gede bingung dan ngeluh mau ngapain.

Menghambat willnya anak usia 7-8 tahun ini yg paling sering adalah melarang anak, nanti semakin sering dilarang, willnya makin meredup. Sama seperti demam. Semakin tidak dibiarkan untuk merasakan, mengalirkan, semakin kehilangan kemampuan self healingnya kelak.

Di fase kedua, tubuh emosi yang berkembang pesat, disini feeling-nya mendominasi. Masa-masa menjelang puber, mulai perasa. Tapi kalau difasilitasi dengan benar, diberikan kesempatan untuk bisa berkembang dg sehat, banyak sekali kebaikan yang bisa diberikan.

Kalau intelektualitas anak, kapan berkembang?
Thinking ini belakangan. Berfikir itu adalah hasil dari penyempurnaan proses antara kemauan dan perasaan yang baik. Maka ia akan bisa berpikir dengan baik.
Betapa banyak hari ini orang bilang, "mbak, itu orang kayaknya nggak mikir gitu lho, nyakitin aja kerjaannya", bisa jadi karena ada salah satu yang terskip. Sehingga proses berfikirnya pun menjadi tidak baik.

Untuk memelihara feelingnya dg mengasah kemampuan merasa. Jadi sebenarnya saat memelihara feelingnya anak, kita gak bisa cuma memelihara feelingnya aja, willingnessnya diabaikan. Gabisa. Karena setiap fase sebelumnya, itu adalah pondasi untuk fase setelahnya. Di fase willing, ada pada boundariesnya, yaitu : aman & nyaman.

Feelings berkembang setelah usia 7-8 tahun. Lalu kapan Mba Nik ngajarin anak decluttering?
Sudah jelas ya patternya?
Anak dibawah 7-8 tahun, saya gak spesifik ngajarin yang gimana-gimana. Biasanya lebih banyak melibatkan anak dengan aktivitas bermain. Decluttering itu kan soal 'memilah dan memilih'. Jadi, kuatkan anak di willingnessnya dengan ajak anak memilah barangnya dan memilih mana yang memang dia mau simpan. Biasanya pas udah bubbling (ngoceh), saya bacain buku dan main tunjuk 'mana yang aku mau'. Sesederhana milih warna hijau atau biru. Itulah mengapa, Alhamdulillah anak2 saya di usia 2 tahun biasanya mereka sudah paham warna.

Ngajarin decluttering yang benerannya kapan? Kalau saya, pas anak udah tanggal gigi susunya. Biasanya decluttering pakaian dan mainan tetep saya yang melakukan, anak hanya ikut mengantar memberikan barang hasil decluttering ke orang yang membutuhkan. Ini sekalian mulai mengasah kepekaan perasaan anak. Karena di fase 7/8 tahun, anak sejatinya sudah mulai ter-sapih secara physical. Gak ada attachment berlebihan pada kepemilikan barang, karena willingnessnya sudah kita penuhi sebelumnya.

Willingness itu bukan dibiarkan begitu aja ya mba sebenarnya, tapi diarahkan. Termasuk membuat kebiasaan kecil harian. Karena anak usia dibawah 7/8 mereka masih butuh pola/pattern rutinitas. Jadi, saya memasukkan aktivitas decluttering itu sesimpel memberi contoh kalau anak beres main, ayo kita rapikan. Yang kecil-kecil seperti itu, nanti akan berkembang dengan sendirinya.

Untuk ibu yang perfeksionis, bagaimana? Memilih membereskan atau memperhatikan anak-anaknya dulu? Sepertinya sudah jelas ya mba yang mana dulu 😁

Adapun soal perfeksionis, perlu dipulihkan dulu ya di pihak Ibu. Karena perfeksionis itu jadi salah satu tanda ada trauma ibu. Ini kalau dibahas, panjang lagi. Intinya: pahami ada luka apa didalam diri ibu? Biasanya gak jauh-jauh rootsnya dari pola pengasuhan di masa kecil dan kemungkinan juga ada trauma trans generasi. Wallahu 'alam 🤗

2. Pertanyaan dari mba Siti Sumaeni
Kalau ada pasangan suami istri, justru yg suami malah yg over bgt rapinya dibanding istrinya itu bagaimana agar rmh tangganya selalu harmonis, dan bagaimana seharusnya sikap istri<< (krn pernah sang istri sekedar menaruh tisu bekas tergeletak aja itu menjadi masalah bagi suami)

Jawaban :

Sebenarnya kita perlu mendudukkan sesuatu itu pada titik keseimbangan ya. Segala sesuatu yang over biasanya memang akan jadi friksi, menimbulkan masalah, dalam hal ini relasi suami-istri.
Sebenarnya kalau dilihat dari kasusnya, baik istri yang over maupun suami yang over, kita perlu pahami 'ada luka apa dibalik sikap tsb?'
Kita menikah dengan sosok pasangan yang tentu saja mereka tidak hanya membawa kelebihan, bakat, kekurangan namun juga trauma-traumanya yang akhirnya bisnakita lihat dalam karakter dan sikap-sikap kesehariannya. Cara memahaminya gimana?
Jadi, kalau ada masalah kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara baik, namun malah menjadi konflik, ini jelas, trauma.
Caranya pemulihannya panjang. Tapi prinsipnya: pulihkan dulu diri kita, bukan pasangan. Jika pasangan gak nyaman dengan kebiasaan kita, coba diikuti sambil terus kita berusaha pulih. Andai kita gak mampu mengikuti ritme pasangan, coba terus komunikasi dan dekati dari hati. Yang jelas, jangan pandang suami yang bersikap seperti itu sebagai rival, tapi pandang sebagai obat. Karena pasangan yang terbaik adalah yang terbalik, Allāh desain itu sejatinya untuk saling mengobati. Banyak-banyaklah membangun bridging komunikasi, baik secara verbal maupun non verbal. Pahami batasan kita dimana, sampaikan batasan itu, lalu olah. Dalam kehidupan rumah tangga itu, relasi kita setara dengan pasangan. Equal relationship istilahnya. Perlu sama-sama memperjuangkan diri sejatinya. Nah, diri sejati itu didapat dari proses pemulihan. Dan ujungnya nanti bisa harmonis. Sebab harmonis itu, produk dari konflik. Mari kita menyelami setiap konflik dengan sadar, sabar dan mengilmui.
Semangat ya mba, semoga Allāh mudahkan

3. Pertanyaan dari mba Faresta Aisyah
Mohon izin bertanya mba mohon dijelaskan bagaimana tukang rombeng dimana awal merintis usahanya itu rumahnya penuh barang bekas dan rongsokan tapi malah dari situ jadi ladang rejeki dan malah sukses mba contohnya seperti musdalifah hehee terima kasih mba.

Jawaban :

Masya Allah. Saya pun punya tetangga yang omzetnya ratusan juta dengan jadi pengepul barang rongsok. Itu kan profesi ya, tentu dikerjakan secara profesional, bukan hoarding disorder. 😁
Jadi bagaimana?
Sepanjang itu pekerjaan tidak menimbulkan masalah (biasanya orang-orang seperti ini punya area khusus juga untuk meletakkan produknya sebelum diangkut ke pusat), ya gak masalah ya. Bahkan ke depan, profesi dengan aktivitas recycle seperti itu malah yang akan memiliki potensi besar, sebab setiap manusia pasti menghasilkan sampah namun gak setiap individunya mau untuk mengelolanya...
Bagi saya, gpp dan bagus, itukan halal. Sepanjang rootsnya atau energinya positif, gak masalah…

4. Pertanyaan dari mba Dwima
Salam.Ijin bertanya mba Nikmah, Bagaimana membangun sistem kesadaran beberes di keluarga dg standar rapi dan bersih yg b3da, terutama orang tua. Krn barang2 udah memenuhi rumah jd berantakan dan sumpek. Kalau pulang kampung, sy yg declutering tp krn saya merantau, bs setahun sekali atau dua kali aja decluteringnya.. itupun kdg diomelin dibilang msh bagus, "barang itu siapa tau nanti dibutuhkan" 😇

Jawaban :

Prinsipnya untuk barang bukan milik kita, sebatasnya saja, kasih ruang untuk orang lain. Bahkan jangankan orangtua yang kita juga perlu pendekatan yang cantik, baik dan apik ya, ke pasangan pun juga sama. Barang milik oranglain, itu bukan hak kita. Adapun kalau mau rekonsiliasi atau pengen pulih, pastikan kitanya juga pulih dulu. Gak semua hal itu kita yang menanggung. Termasuk ortu yang masih sayang2 barang. Saya pun saya biarkan, itu buku TK, SD sekolah kuliah dst sama ibu saya masih disimpan lho😬😷 ya gpp, kalau mudik, ya biar ibu saja yang menyimpan yang penting rapi. Dan gak menimbulkan penyakit di kemudian hari (kalau levelnya sudah hoarding disorder, bisa dipahami itu trauma perlu kita bantu rilis -dengan pendekatan yang baik tentunya - dan atas kesadaran dirinya, bukan kita). 

Relasi ortu ke anak itu unconditional love, beda dengan pasangan. Kalau kita sebagai ortu, peran kita hanya memberi. Dan jika kita sebagai anak, peran kita hanyalah menerima (jangan dibalik).
Jadi, kita terima semuanya segala hal yang ortu beri pada kita, tanpa tapi/tanpa syarat, mau diri ortu baik ataupun buruk, terima semua. Menerima disini acceptance ya, bukan membenarkan semuanya, tapi menerima kondisinya apapun itu).
Semoga ortunya sehat-sehat ya mba..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar