Rezeki dari Suami
Sebagai seorang perempuan yang pernah aktif bekerja, aku sering merasa tidak puas menjadi ibu rumah tangga yang hanya berpangku tangan soal keuangan. Meskipun suamiku adalah lelaki bertanggung jawab dan selalu mencukupi nafkah untukku dan anak-anak, aku merasa tidak bahagia karena tidak bisa bekerja. Perasaan tidak puas itulah yang perlahan-lahan menggerogotiku dari dalam.
Aku adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak. Anakku yang pertama berusia sembilan tahun, sedangkan adiknya baru empat tahun. Karena suamiku bekerja di luar kota, mau tak mau urusan rumah, sekolah, dan pengasuhan kedua anakku kuhandle sendiri. Aku bukannya tidak bahagia menjadi ibu rumah tangga. Hanya saja, sebagai perempuan yang pernah aktif bekerja, aku sering merasa tidak puas karena tidak bisa menghasilkan uang sendiri.
Sejak kecil, orang tuaku mendidikku agar menjadi perempuan yang tangguh dan mandiri. Sejak lulus dari SMA, aku bekerja serabutan demi bisa menabung untuk kuliah. Sejak aku bisa mencari uang sendiri, orang tuaku tidak pernah lagi memberiku uang jajan. Akupun sungkan untuk meminta. Aku terbiasa mengatur semuanya sendiri—dari kebutuhan pribadi, hingga keinginan-keinginanku yang kecil sekalipun.
Mungkin karena itulah, setelah menikah dan bergantung pada uang suami, muncul perasaan yang sulit kujelaskan. Sebanyak apa pun uang yang diberikan suamiku, entah mengapa selalu terasa kurang. Tapi lucunya, uang hasil kerjaku sendiri (dari gaji kecilku sebagai guru ngaji) justru terasa cukup. Mungkin karena uang itu kuhasilkan sendiri. Dari jerih payahku. Dari keringat dan waktuku. Uang itu memang tidak banyak, tapi entah mengapa terasa lebih “punya aku.”
Kadang suamiku menegurku karena aku suka membeli barang-barang yang dianggap tidak berguna. “Hei … bukankah memang sudah wataknya perempuan suka berbelanja?” pikirku sambil tertawa kecil. Tapi di balik tawa itu, ada sesuatu yang terasa perih. Harga diriku seperti tersentil. Aku tidak bermaksud boros, hanya saja ada ruang kosong di dalam diri yang seolah butuh diisi entah oleh rasa puas, rasa dihargai, atau sekadar rasa memiliki kendali atas hidupku sendiri.
Seandainya saja aku bisa bekerja full time dan menghasilkan uang lebih banyak. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan anak-anakku tumbuh tanpa pengasuhan dariku. Mereka masih kecil. Mereka membutuhkanku, dan aku butuh membersamai mereka.
Dilema itulah yang lama menghantui. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menekan dalam-dalam egoku dan mencari jalan tengah. Aku mulai belajar hal-hal baru. Dari jualan online, jin MLM, menulis, mengedit video.. apa saja yang bisa kulakukan dari rumah. Aku ingin tetap punya nilai, bukan hanya di mata suami atau orang lain, tapi di mata diriku sendiri.
Aku ingin punya pendapatan yang membuatku merasa mandiri secara finansial. Bukan karena aku tidak percaya pada suamiku, tapi karena aku ingin ikut bertumbuh bersamanya. Biar nafkah darinya mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan hasil karyaku menjadi ruang bagi impian, hobi, dan tabungan masa depan kami. Mungkin inilah bentuk cinta versi seorang ibu rumah tangga yang ingin tetap berkarya, sekaligus mencintai keluarganya tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Kini aku mulai memahami bahwa “rezeki” tidak selalu harus datang dari arah yang kita kehendaki. Kadang Tuhan menitipkannya lewat tangan orang lain, termasuk suami.
Namun, di sisi lain, Ia juga memberi kita kemampuan untuk menciptakan rezeki sendiri lewat potensi dan kreativitas yang kita miliki.
Perempuan sering kali berada di tengah dua kutub yang saling menarik: tanggung jawab rumah tangga dan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Dan di tengah tarik-ulur itu, banyak dari kita merasa bersalah. Merasa tidak cukup baik sebagai ibu ketika ingin bekerja, dan merasa tidak cukup berharga sebagai perempuan ketika tidak menghasilkan uang.
Padahal, keduanya bisa berjalan berdampingan. Tak harus memilih antara rumah dan mimpi, antara anak dan cita-cita. Kita hanya perlu mengubah cara pandang: bahwa berkarya tidak selalu berarti harus keluar rumah, dan menjadi ibu rumah tangga bukan berarti berhenti bertumbuh.
Uang bukan satu-satunya sumber rasa cukup. Rasa cukup itu lahir ketika kita bisa menghargai setiap hal kecil yang kita lakukan dengan cinta. Baik itu mengasuh anak, menyiapkan makan malam, maupun menulis artikel sederhana di sela waktu. Semua itu adalah bentuk rezeki juga. Rezeki berupa kesempatan untuk memberi, untuk belajar, dan untuk mengenali diri sendiri lebih dalam.
Kini, setiap kali suamiku mengirimkan uang belanja, aku tidak lagi melihatnya sebagai simbol ketergantungan. Aku melihatnya sebagai bentuk tanggung jawab dan kasih sayang. Aku pun berusaha menyeimbangkannya dengan berkarya dari rumah. Bukan untuk bersaing dengannya, tapi untuk saling melengkapi. Karena pada akhirnya, rezeki bukan tentang siapa yang memberi atau menerima, tapi tentang bagaimana kita mensyukurinya dan mengelolanya dengan hati yang lapang. Rezeki bukan hanya tentang uang yang masuk ke rekening, tapi juga sesuatu yang menumbuhkan kesadaran bahwa aku berharga, meski tak selalu berpenghasilan besar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar