Memperbaiki Emosi



MEMPERBAIKI EMOSI, MEMPERBAIKI HUBUNGAN

Notulen : Noer Zein

Banyak hal yang bisa kita pelajari dari kendala/ masalah yang dihadapi di lapangan, bagaimana pentingnya berdamai dengan emosi karena sangat berpengaruh dalam memperbaiki hubungan. Baik itu antar orangtua terhadap anak, anak terhadap orangtua, ataupun antar pasangan suami istri. Berikut tanya jawab antar peserta talkshow “Coffee for Change #2 ‘Berdamai dengan Emosi’” dengan teh Michelle Ronida Karamoy:

Q1 :

Teh Michele untuk anak remaja kapan bisa diajak untuk ngobrol lebih matang mengenai emosi ini?

A1 : 

Untuk anak remaja ini susah-susah gampang ya, karena dia sudah punya kehidupannya sendiri, punya ego, sudah menjadi dirinya sendiri. Maka untuk anak remaja konsepnya connecting before correcting. Jadi ketika kita tahu ada yang salah perilakunya yang perlu ditetapkan adalah connecting dulu kita bangun kedekatan sebelum kita mau koreksi. Karena kita biasanya kalau melihat ada yang salah kita langsung mengoreksi tanpa melihat waktu, kira-kira waktunya pas atau tidak untuk mengajak anak ngobrol dan memberi nasehat?

Cari waktu dimana ketika anak itu bisa dengan rileks dia bisa mendengarkan nasehat dan lain sebagainya. Bangun koneksi sehingga dia mau menceritakan tentang apa perasaannya, ajak ngobrol sesuai dengan gaya bahasa anak kita. Biarkan mereka menceritakan perasaannya, kita cukup mendengarkan tanpa men-judge, izinkan anak-anak kita mengalirkan perasaannya. Dengan tidak men-judge dan memborbardir dengan banyak pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman, maka anak akan merasa nyaman dan mempercayai kita sebagai teman ngobrolnya.

Q2 :

Saya punya anak cewek kelas 3 SMA jujur saya kurang dekat secara emosional karena disamping anak nya pendiam dan kita juga memiliki sifat yang sama sama keras, kadang saya gak ngerti apa yang dia pikirkan? Tipe nya suka menyendiri asik dengan dunia nya sendiri.

A2 : 

Ini kayaknya tantangan hampir banyak orangtua jaman sekarang ya. Jadi, kita mulai dengan bertanya pada diri sendiri. Apa sih masalahnya dan kenapa sih bisa sampai kayak gitu? Apa yang menjadi gap di antara kita dan anak kita? Sebenarnya pertanyaan ini sudah dijawab sama Teteh yang bertanya yaitu tidak adanya kedekatan emosional, maka solusinya bangun kedekatan itu! Kita tidak bisa terus-menerus menunggu momen kapan untuk membangun? Tapi putuskan dari sekarang!

Apa sih yang bikin gak deket itu ya? Apa kita sebagai orangtua pernah menyakitinya? Apakah kita pernah kecewa terhadap anak kita atau sebaliknya? Jadi mulailah ngobrol, hancurkan dinding es di antara kita dan anak kita. Kita renungi lagi mau sampai kapan seperti ini? Kita nggak tahu siapa duluan yang dipanggil oleh Allah, minta maaf, tidak ada salahnya meminta maaf duluan kepada anak lalu ngobrol dari hati ke hati, kalau dia udah punya dunia sendiri, kita usahakan untuk masuk ke dunianya. Ketika koneksi sudah terjalin, akan mudah untuk kita bisa mengoreksi dan membangun hubungan lagi.

Coba refleksi muhasabah diri, hilangkan ego, bagaimana mengelola emosi dengan melepaskan keakuan bahwa anak bukan milik kita orangtuanya, karena bukan milik kita maka ketika mereka berlaku tidak sesuai dengan maunya kita, kita tidak boleh menuntut, karena itu semua atas kehendak-Nya. Lepaskan, bahwa Ia melakukan seperti itu pasti sudah atas seizin Allah. Maka saat ini gimana caranya kita mulai lagi membangunkan koneksi dengan anak kita, mungkin bisa dengan ngobrol, jalan bareng, atau melakukan aktivitas bersama-sama. Kita masuk ke kehidupannya sebagai sahabatnya, menjadi orang yang menyenangkan untuk kemudian setelah terbangun koneksinya baru bisa mengoreksi mungkin kalau ada yang salah bisa membangun kembali, bismillah kita melakukan ini karena Allah, masak iya ketika kita kembali nantinya kepada Allah, masih ada sesuatu yang tidak selesai?

Q3 :

Halo teh, Aku pribadi sudah sangat memahami kalau luka dalan diri aku ini sekacau apa? Aku tahu aku terluka. Aku tahu aku bermasalah. Aku juga sangat amat temperamen dan mudah meledak-ledak. Yang aku bingung adalah gimana sih mengarahkan diri sendiri buat memaafkan orangtua atas luka pengasuhan masa lalu? Aku gak tau gimana caranya membimbing diri biar keluar dari inner child. Aku juga mau berhenti ngebentak anakku yang baru berusia setahun?

A3 : 

Setiap kita punya masa lalu ya, meskipun itu ada yang bahagia, ada yang pahit. Jika ada luka masa lalu yang sudah kita selesaikan, kita bisa bertumbuh dan ambil hikmahnya. Tapi jika ada luka yang masih membelenggu yang menyebabkan respon yang tidak sesuai, yang perlu dilakukan adalah kita memahami dan menyadari di mana posisi kita saat ini? Kalau masih di tahap penolakan masih menyalahkan orangtua maka segera akhiri! Pertama kita akui dulu bahwa kita terluka karena mungkin kejadian masa lalu yang begitu menyakitkan, lalu alirkan dulu rasa sakitnya! Bisa lewat tulisan, lewat tangisan, atau lewat diterapi, di posisi rileks kita hadirkan sosoknya, terus kita keluarkan uneg-uneg kita pada proses itu.

Nah setelah dikeluarkan, kita penuhi kebutuhan diri, kita ajak ngobrol sosok kecil diri kita, “Kenapa? kamu pengennya nggak dipukul ya? Nggak dibentak ya? Dst” lalu kita beri apresiasi, beri waktu pada diri untuk berproses tanpa menghakimi diri. Setelah itu Lepaskan Semua rasa sakitnya, baru bisa memaafkan. Mengapa kita sangat sulit memaafkan? Karena pertama kita berpikir berada di posisi sebagai korban, kita ada di posisi sebagai orang yang terdzolimi, sementara orangtua atau orang lain itu menyakiti kita, cobalah ganti posisinya! Kita ganti kacamata kita, ubah posisinya kita bukan lagi korban, kita bukan lagi orang yang dizalimi tapi bertanya “ya Allah lewat peristiwa ini apa yang mau kau sampaikan?”, “Kenapa orang tua atau orang lain bisa seperti itu?” Karena mungkin mereka juga punya luka yang nggak disadari sama mereka dan mereka juga nggak tahu kalau berbuat begitu itu salah.

Q4 :

Assalamualaikum teh, gimana dengan orangtua yang strict parents, mau cerita sama orangtua malu karena jarang ngobrol juga, padahal banyak yang mau diceritakan dengan orangtua?

A4 : 

Malu itu sebenarnya kan persepsi kita ya, kita yang membuat frame kita malu sama orangtua, padahal mungkin orangtua sedang menunggu, mungkin orangtua juga ingin membangun kedekatan sama anaknya tapi nggak tahu harus gimana? Hal ini biasanya terjadi karena punya trauma, punya luka, mungkin dulu ketika ngobrol nggak pernah diapresiasi dan lain sebagainya sehingga sekarang sulit membangun kedekatan emosional lagi.

Jadi mulailah dengan memaafkan diri, penuhi dulu keinginan diri. “Kenapa bisa malu ya?” sering-sering ngobrol sama diri. Mungkin dulu kita pengennya dipeluk sama orangtua, diajak ngobrol dst. Setelah itu mulai turunkan ego, maafkan, sebelum orangtua meminta maaf kita minta maaf duluan, lalu mulai ajak ngobrol orangtua. Jadi kita dulu yang memulai.

Q5 :

Berarti connecting ini harus dibangun sedari kecil ya teh? kalo udah ABG gitu kadang suka ga begitu dekat dengan orang tuanya apa itu akibat kurang atau gagal melakukan connecting sedari kecil?
Nah prosesnya harus seperti apa ini teh biar connecting ini terbangun dari kecil?

A5 : 

Iya harus dari kecil. Setiap anak punya fasenya, bagaimana dia bisa mengenal dirinya? Bagaimana dia bisa mengenal perasaannya? Karena yang terjadi sedari kecil kita nggak pernah dikenalin sama apa itu emosi? Ketika ingin menangis misalnya, emosi kita di-cut “jangan nangis!” “Jangan sedih!”. Akhirnya kita kesulitan mengenal emosi. Jadi apa yang perlu kita lakukan? kita nggak boleh nggak peka sama perasaan anak. Mau mereka sedih, marah itu gak apa-apa tapi bagaimana nanti dikenalkan, “boleh kok ngerasain sedih boleh marah-marah tapi ada syaratnya, yaitu tidak boleh melukai diri, tidak boleh melukai orang lain, dan tidak merusak barang.”

Pahami kebutuhan anak dengan sering-sering mengajaknya ngobrol, lebih sering menanyakan apa yang dia rasakan, apa yang dia butuhkan, dibandingkan kita terus ceramah memberinya banyak nasehat. Karena jika anak remaja kebanyakan nasehat nanti mereka akan kekenyangan nasehat dan membuat mereka menjauhi kita, jadi sering-seringlah komunikasi dari hati ke hati.

Q6 :

Mba saya mau bertanya, dari dahulu saya selalu dididik untuk selalu menuruti orangtua. Ketika ibu (janda) meminta saya dan keluarga untuk pindah ke rumah beliau walaupun saya terus menolak akhirnya saya menuruti karena didikan yang harus selalu menuruti orangtua.Tetapi selama 3 tahun tinggal bersama, selalu ada konflik yang terjadi sampai ibu saya mendiamkan saya selama 1 bulan, karena tidak nyaman akhirnya saya dan keluarga pindah kembali ke rumah kami. Sudah 1 tahun saya tidak bertegur sapa dengan ibu, mau berbaikan rasanya susah sekali.
Saya punya rasa bersalah yang besar terhadap ibu karena sekarang tidak bisa menuruti keinginan beliau untuk tetap tinggal bersama.

A6 : 

Jadi konflik-konflik akan selalu ada dengan siapapun, kita nggak bisa menampik bahwa kita kan punya masalah, balik lagi ke apa ya yang mau Allah sampaikan dengan adanya konflik ini? Tanya lagi ke diri sendiri kenapa kok bisa sampai seperti ini? Tidak menurut boleh kok, kita tidak harus selalu sama dengan orangtua, kita boleh ya berpendapat berbeda tapi memang sampaikan dengan cara yang benar. Mungkin yang perlu dilakukan adalah maafkan dulu diri sendiri maafkan dulu orangtua, seperti tadi reframing lagi ini kenapa ya orangtua bisa seperti itu? Orangtua pengen tinggal bareng ya karena nggak punya temen, orangtua pengen ditemenin. Bangun koneksi kembli. Sebenarnya merasa bersalah, merasa menyesal, itu artinya bahwa Fitrah hati kita masih bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar