Setelah didiagnosis PCOS, langkah apa yang mbak Yulia dan mas Giri lakukan? Dan adakah meminum ramuan khusus, atau obat obatan khusus guna untuk meningkatkan kesuburan mba Yulia?
Saya tahu kondisi saya yang sejak remaja siklus menstruasi tidak teratur akan berpengaruh pada sulit tidaknya punya anak. Giri yang sahabat sejak kuliah paham itu tapi kami belum thau kalo namanya PCOS. Baru tahu lebih jelas namanya PCOS, gejala dll-nya setelah menikah dan periksa ke obgyn saat telat menstruasi lagi disertai mual-mual yang ternyata asam lambung naik. Setelah itu kami menempuh promil jalur medis, berbagai tes lab dan obat-obatan resep dokter.
Obatnya pernah pake metformin karena orang PCOS itu punya resistensi insulin, pankreas bekerja lebih keras. Makanya obatnya sama dengan penderita diabetes. ada juga norelut untuk memicu supaya bisa menstruasi. Saya pernah hampir 2 tahun gak menstruasi sama sekali.Pernah juga diresepkan pil KB Diane untuk bikin hormon stabil dulu..
Ikhtiar non medis yang kurma muda, minta doa yang sedang di
tanah suci, dll udah macem2 ya... selain itu juga mengikuti grup FB PCOS
fighter. di sana jadi tahu bahwa pengaturan pola makan dan pola hidup itu penting
untuk menstabilkan hormon. Saya juga pernah ikut grup wa PCOS fighter yg
menjalankan food combining. Tapi sekarang sudah gak ada grupnya setelah beberapa
membernya berhasil hamil (waktu itu saya tidak termasuk yang berhasil hamil)
Pernah juga ke klinik herbal kemenkes di Tawangmangu, pusat penelitian farmakologi, diberi kaplet dan pil-pil herbal untuk diminum. Sampai 3x kunjungan ke sana belum ada perubahan terus kami hentikan.
Pernah juga ada terapi intensif di Surabaya, program dokter, itu diberi obat, panduan diet. Intinya disuruh berat badan, diberi obat untuk membantu mematangkan sel telur. FYI berat saya waktu itu hampir 100 kg/160 cm, tapi berat badan turun pun belum berhasil. Makanya setelah 2016 kami memutuskan
stop ikhtiar medis karena capek bolak balik Surabaya dan minum obat, kami mau jeda
dulu.
Keterusan sampe 2022 tanpa promil apapun. Kenapa gak inseminasi atau bayi tabung? Waktu itu kami berniat mau perbaiki kondisi tubuh
dulu sambil nabung untuk biayanya. Tapi kemudian malah jadi pasrah aja menerima
kondisi yang ada.
Apa ciri-ciri atau gejala yang mengindikasikan PCOS dan pemeriksaan apa saja yang dilakukan sampai terdiagnosis PCOS?
Ada banyak sih sebenarnya, bisa di-googling untuk lebih
lengkapnya, antaranya:
- Periode menstruasi yang tidak teratur Atau bahkan Pendarahan menstruasi yang berat
- Pertumbuhan rambut pada wajah dan tubuh (punggung, perut, dan dada) yang berlebihan,
- Munculnya jerawat dan wajah berminyak
- Penambahan berat badan
- Rambut di kulit kepala menjadi lebih tipis dan bisa rontok
- Penggelapan kulit, dapat berupa bercak gelap pada kulit dapat terbentuk di lipatan tubuh seperti di leher, selangkangan, dan di bawah payudara
- Sakit kepala, dll
Selain medis apa ada treatment lain untuk penderita PCOS? Apa ada pantangan khusus terkait makanan, dst?
Perubahan pola hidup keseluruhan, pertama pola makan, baik itu yang obesitas maupun engga. Pola olahraga, dan istirahat (tidur), pengaturan pola pikir juga, karena stress juga mempengaruhi kerja hormon.
Untuk pantangan: pastinya makanan-makanan yang tinggi gula, tinggi
kalori itu tidak bagus buat badan kita, apalagi yang untuk PCOS.
Kalau bergerak/berolahraga juga hal yang penting untuk penderita PCOS. Saat kami periksa di awal kehamilan dulu, komentar dokternya saat tahu saya PCOS, riwayat infertilitas 12 tahun langsung komen. Pasti diet dan olahraga kan ya?!
Program hamil apa yang mas Giri jalani hingga mas Giri dan mbak Yulia berhasil memiliki anak? Apakah ada kiat-kiat progmil khusus?Kalo saya tidak menjalani apa-apa secara medis khususnya, cuman ikut nemeni berubah juga pola makan (food combining tapi sering cheating) dan ikut olahraga (tapi tidak serajin istri), juga ikut2 kelas pemberdayaan, tidak sepersisten istri saya sih effortnya.
Gak ada kiat khusus untuk sukses sampai hamil, karena kami merasanya tidak menjalani promil apapun, makanya kaget waktu hamil, jadi wallohualam ikhtiar yang mana atau doa siapa yang dikabulkan sampai kami dikaruniai si kecil ini, semua ini saya rasa jadi kehendak Tuhan semata. Makanya nama anak kami AIRUNA KERSANING GUSTI WIDHIARI... ya sebab dia hadir mutlak dalam pikiran saya karena "Kersaning Gusti..."
Sebelum dinyatakan hamil, dan lahir putri cantiknya, apa mas Giri dan mbak Yulia ada hasrat/keinginan memiliki anak?
Keinginan ada, tapi tidak yang terobsesi banget sih...
kalau Yulia lebih ingin hamilnya daripada punya anak, karena punya anak bisa
jadi tidak harus hamil kan ya, bisa dengan adopsi, dalam pikiran kami kalau hamil
ya diterima, kalo enggak ya gapapa sudah berdua aja... kami sudah enjoy dan siap
tidak punya anak waktu itu, karena sangking lamanya jadi sudah terbiasa dengan ritme
hidup itu.
Bagaimana mas dan mbak, bisa menerima kekurangan (yang menjadi hambatan lama memiliki anak) satu sama lain, dan tidak saling menyalahkan?
Karena sudah tegak diagnosa yang bermasalah secara medis Yulia jadi pertanyaan ini lebih tepat Giri yang jawab ya. Giri jawab: saya sudah tahu kondisi Yulia sebelum menikah, bahkan sebelum pacaran, saya pernah ujar "gapapa gak punya anak nanti ngopeni aku wae" (bercanda + menggombal waktu itu hehe)... karena tujuan menikah kan bukan semata untuk punya anak... tapi karena pengen menjalani hidup bersama. Dalam persepsi kami: punya anak itu tidak wajib, yang tidak punya anak itu tidak berdosa... so it's fine2 aja...
Kalau tujuan menikah hanya untuk punya anak, maka orang sah untuk berganti pasangan berapa kalipun sampai punya anak, tapi kami kan gak mau itu,
dari awal kami maunya bersama...
Adakah kehawatiran, ketakutan atau ketidaksiapan di kedalaman mbak atau mas, tentang anak, dulu?
Ada. Kuatir gak ada anak pernah (walau sudah tahu
kemungkinan untuk ini besar karena PCOS tapi kan ya tetap berharap bisa sembuh sehat
ya)... Sebaliknya kuatir gimana kalau ada anak juga pernah (siap tidak ritme
hidup berubah, kuatir dan takut gak bisa jadi orangtua yang baik juga pernah).
Sejak 2016 lalu setelah menrima kemungkinan tidak bisa punya
anak, pasca promil terhenti, kami malah terlalu enjoy berdua aja, malah takut
kalo punya anak nanti gimana... hidup akan berubah seperti apa... jadi punya anak
maupun enggak itu ada PR dan konsekwensinya.
Giri jawab: pas kena covid, saya pernah ketakutan kalau ga punya anak nanti pas saya tua nanti terus sakit ga berdaya bareng istri kayak gini siapa yang merawat... tapi pasca itu saya sadar, punya anak banyak pun belum tentu ada yang merawat karena mereka juga sudah punya kehidupan masing-masing, dan kesadaran belum tentu juga saya diparingi umur sampai tua.. makanya fokus saja sama yang sudah ada, dijalani, disyukuri.
Bagaimana mbak dan mas menjalin komunikasi sehingga bisa se-iya se-kata, satu sama lain, soal anak ini?
Sudah disinggung di jawaban sebelumnya, dari awal kami sudah
tahu kemungkinan sulit punya anak, dan memang tujuan pernikahan ini adalah untuk
hidup bahagia bersama. Kalau menjalin komunikasinya bukan hanya untuk hal anak
ya, tapi memang kami apa-apa diobrolin, belajar untuk assertif, apa yang dirasa
dikomunikasikan. harapan bagaimana, mau melakukan apa juga semua dibicarakan.
Sejak awal persiapan pernikahan dulu kami sepakat 1 hal,
yang terpenting itu kita berdua. Komunikasi berdua tetap bagus maka kita akan
kuat bersama.. Jadi mau yg di luar kita gimana pun pokoknya aku dan kamu baik2
aja maka tidak apa-apa. (Dulu terlontar kalimat ini saat stress riweh printhilan
persiapan nikah banyak ketidaksepahaman sama orang tua, saudara dan keluarga besar. Ternyata kemudian ini jadi pegangan kami terus menjalani pernikahan sampai saat
ini.Termasuk juga soal ada tidaknya anak di pernikahan kami).
Bagaimana mbak dan mas, meyakinkan orang tua dan mertua,
bahwa tidak memiliki anak itu ya baik-baik saja?
Sebelum menjawab ini kami jelaskan dulu latar belakang keluarga kami :
Mas Giri ini anak bungsu dari 5 bersaudara. Kakak-kakak semua sudah berkeluarga dan punya anak. Jadi ibu tidak terlalu mendesak karena cucunya sudah banyak. Beliau lebih memilih diam dan mendoakan yang terbaik buat kami berdua.
Selain tidak pernah mendesak anak-anak lainnya untuk segera
menikah maka papa mama juga tidak pernah mendesak kami untuk promil juga..
Tidak pernah sekalipun keluar kalimat bertanya kapan punya
cucu. Pas ditanya, kok gak kayak orang tua lain yang sudah bingung khawatir tanya-tanya kapan
punya cucu? papa bilang: "emangnya kalau sering ditanya kapan punya anak
bakalan bikin bisa segera punya anak tah? anak itu kan dari Allah, bukan dari
sering ditanya kapan ataupun didesak promil macam-macam yang penting kalian berdua
rukun dan bahagia, itu sudah cukup."
"emangnya kalau sering ditanya kapan punya anak bakalan bikin bisa segera punya anak tah? anak itu kan dari Allah, bukan dari sering ditanya kapan ataupun didesak promil macam-macam yang penting kalian berdua rukun dan bahagia, itu sudah cukup." ~Papa mbak Yulia
Itu bahkan untuk bayi tabung saja orang tua kami bilangnya ke
kakak kami bukan menyuruh kami langsung, kalimatnya: kalau adikmu sudah mau
bayi tabung bilango ya, nanti biaya kita yang tanggung..
Jadi mama papa tuh kayak sangat menjaga perasaan kami karena
paham pastinya berat juga ngadepin komentar-komentar lingkungan sekitar tentang beklum hamil juga ini. Makanya ga mau nambahin tekanan dengan desakan kudu wajib kasih
cucu gitu. Tapi pastinya mereka tetap mendoakan yang terbaik utk kami.
Mendukung kalau mau promil apapun akan dibantu. Ga mau promil
tertentu pun tidak mengapa karena kami yang ngejalani sendiri ya jadi ga dipaksa-paksa gitu.
Pernah suatu saat tanya,"Papa Mama gimana kalo ternyata
kami takdirnya seumur hidup ga dikasih hamil/punya anak sama Allah?"
Jawabnya, "Gak papa, sing penting terus sehat, uripmu ayem
tentrem, rukun bareng bojomu ya... Wis tho, ditenangne atimu yaa.. Semua Allah yang
tentukan"
Jadinya kalau ditanya gimana caranya meyakinkan orang tua kami tidak bisa jawab karena kondisi orangtua kami seperti itu.
Bagaimana mbak dan mas, membangun keihklasan dan
ketawakalan, bahwa jika tidak dikruniai anak ya tidak apa-apa?
Pertama, kami menemukan bahwa pasangan yang kondisinya kayak kita ini banyak, belum dikaruniai keturunan. Jadi kondisi yang kita hadapi itu wajar dan bukanlah suatu keburukan. Jadi ya diterima kondisinya, banyak temannya seperjuangan yang sama..
Kedua, dengan membangun kesadaran bahwa punya anak itu bukan
segalanya, bukan jaminan pula bahwa punya anak akan bikin jadi lebih bahagia,
bahwa hidup akan lebih baik-bai saja, dan anak bukanlah satu-satunya hal yang
memperkuat pernikahan, karena sudah banyak kejadian walaupun punya anak juga bukan
jaminan pernikahan baik-baik saja, belajar dari sekitar kami sih tentang ini.
Jadinya kami lebih sibuk melakukan hal-hal yang kami sukai bersama.
Ketiga, punya anak pun kalau mereka sudah dewasa dan punya kehidupan sendiri juga akan terpisah dari kita ya. Balik lagi cuma berdua dengan pasangan kita. Jadinya ya fokuskan aja dengan menguatkan relationship kita dengan pasangan. Partner seumur hidup kita. Saling menguatkan, bersama merawat bahagianya.
Tambahan jawaban dari yulia: juga dengan lebih memberdayakan diri, fokus ke kerjaan/bisnis, berusaha melakukan banyak hal-hal baik sehingga membuat diri merasa bahwa diri ini bermanfaat bagi kehidupan, saya belajar untuk paham bahwa nilai diri saya sebagai manusia/ perempuan itu tidak ditentukan dari bisa tidaknya saya hamil dan punya anak. Makanya saya kemudian banyak-banyak ikut kelas pemberdayaan diri, kelas psikologi yang ada healingnya itu juga saya ikuti. Apapun yg bisa bikin saya menjalani hidup ini dengan lebih tenang nyaman dan gak cuma fokus ke promil-promil aja gitu.
Giri jawab : kalau saya lebih mengusahakan sangka baik
sebisanya bahwa Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk kami, dan kalau DIA sudah
berkehendak pasti tidak ada yang sulit.
Mas dan mbak, serius menerapkan pola hidup sehat bukan untuk agar hamil, tetapi untuk sehat. Bagaimana mas dan mbak bisa memiliki semangat sebesar itu melakukan banyak upaya yang orang umum mungkin anggap "sulit"?
Yulia : karena buat saya sehat itu yang terpenting,
1. Kalau kemungkinan terburuk gak punya anak, maka saya butuh tubuh yang sehat kuat sejak
sekarang hingga tua nanti supaya tidak ngrepoti orang lain. Saya butuh tubuh yang
sehat kuat juga buat diajak kerja, jalan-jalan bersenang-senang, beribadah dan kuat
menghadapi kehidupan dengan segala warnanya.
2. Kalau ternyata dikasih hamil juga dibutuhkan ibu yang kuat
sehat supaya kehamilan dan melahirkannya tidak bermasalah / beresiko, dan badan
cukup kuat untuk merawat dan membesarkan anaknya... handling baby itu butuh
stamina dan tubuh yg sehat dan kuat.
3. Kalaupun mau promil apapun (inseminasi/bayi tabung) tingkat keberhasilan program akan sebanding dengan kondisi kesehatan tubuh. Makin bagus sehat kondisi tubuhnya maka treatment persiapan akan semakin sedikit (ngaruh ke biaya lho tiap injeksi/obat yg ada) juga akan makin tinggi tingkat keberhasilannya.
4. Hidup sehat itu wujud tanda cinta dan terima kasih kepada
diri sendiri dan Tuhan.. dengan tubuh sehat kita akan lebih bisa menikmati
kepantasan-kepantasan akan anugerah indah yang lain dalam kehidupan ini.
Giri jawab : wake up call alarmnya sudah nyala sih kalau saya, stamina turun, kepala sering pusing, dan pernah tiba2 black out tanpa sebab yang jelas, ditambah pandemi juga mendorong diri utk lebih menjaga imunitas
Bagaimana perasaan mas dan mbak, saat tahu akhirnya
hamil, dan setelah itu lahir seorang anak?
Kaget, bingung, khawatir, bersyukur.
Kaget karena ya memang sudah lama tidak promil..
bingung, karena kami sebenarnya lebih siap untuk tidak punya
anak..
Khawatir, karena paham bisa hamil itu bukanlah happy ending
semacam yeaay tercapai juga targetnya bisa hamil.Tapi lebih ke a new
begining, perjalanan masih akan panjang, ketidak pastiannya itu banyak selama
fase hamil, melahirkan dan setelahnya, ada banyak pula resiko bagi ibu maupun
bayinya.
Khawatir hamil pertama di usia 40 tahun itu termasuk resiko tinggi.
Bersyukur, karena dapat anugrah kehamilan ini apalagi setelah tahu alhamdulillah bayinya sehat sempurna.
Setelah dipastikan beneran hamil oleh dokter obgyn, kami
malah sibuk mendiskusikan plan A, B, C apa yang harus dilakukan selanjutnya, faktor
resiko apa saja, karena kami ada bisnis bersama di rumah maka perubahan apa aja
yang harus dilakukan menyesuaikan kondisi kehamilan saya, siapa aja yang harus mulai
dihubungi untuk membantu di masa kehamilan, persiapan kelahiran, pasca,dll.
Jadi kayak gak sempat euforia berlebihan karena berhasil hamil gitu.
Bagaimana rasanya menjadi seorang ibu, saat ini setelah penantian panjang, mba Yulia?
Pertama saya tidak merasa sedang menanti, saya sibuk
menjalani apa-apa yang bisa saya kerjakan untuk membuat saya dan suami lebih bahagia.
Rasanya setelah jadi ibu, terus terang, beyond expectation,
tidak seperti bayangan, bersyukur itu iya tapi tidak bisa dipungkiri capek banget
suda pasti, mood swing itu ada, jadi ibu banyak tantangan dan kewajiban tambahan
baru yang harus dihadapi tapi juga banyak momen yang bikin saya tersenyum dan
bersyukur banget
Terus jadi ibu itu bikin saya merasa saya harus lebih
berusaha taking care of myself, agar lebih kuat sehat dan berdaya, saya sibuk
belajar intensif banyak hal untuk menjadi ibu: kelas hamil, kelas gentle birth,
kelas menyusui, MPASI dealing with new born, kelas menggendong dsb.
Kalau rasa bahagia, sejak beberapa tahun terakhir kami
belajar untuk bahagia secukupnya, sedih juga seperlunya. Jadinya kalau ditanya
apakah happy banget jadi ibu. Kayaknya jawaban bahwa saya bersyukur itu lebih
tepat mewakili perasaan saya.
Tantangan dan permasalahan paling berat apa sih yang
dihadapi Mas Giri dan Mbak Yulia selama proses perjuangan garis dua hingga
akhirnya bisa lulus memperoleh anugerah buah hati?
Yulia: Yang berat menahan mulut dan jari saya untuk tidak reflek membalas dengan respons yang sama menyakitkannya dengan yang saya terima dari komentar orang sekitar (seringkali malah bukan dari keluarga). saya tipe orang yang "das dess", tidak segan melawan maupun bertahan sebenarnya, cuman makin lama saya merasa meladeni mereka itu wasting energy. Cuma ya namanya emosi, nahannya itu yang susah, padahal kalau emosi, terus stres, kenanya juga ke kita sendiri juga, termasuk bisa ngaruh ke hormon juga yang sudah susah payah saya stabilkan.
Yang berat juga selama menjalani proses promil itu berat dan
gak nyaman, efek obat macam-macam ke badan, proses USG transvaginal gak nyaman,
capek riwa riwi karena promilnya ke dokter/RS di Surabaya (kami tinggal di Madiun),
proses tes lab macam-macam juga banyak yang menyakitkan buat badan.
Giri : tantangan saya adalah menjaga mood istri supaya stabil tenang damai.😄😄 dan banyak latihan ilmu sabar dan syukur.
Tetap berdaya dan terus berusaha merawat bahagia yaa, Biar ngejalani ikhtiarnya lebih ringan juga, Kalau perlu jeda tidak apa-apa. Berhenti, tenangkan hati. Nanti mulai lagi.
Terus semangat ya semuanya. Peluk erat satu-persatu, doa terbaik untuk semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar